Saturday, 28 March 2015

Kredit Usaha Tani (KUT)



Kredit Usaha Tani (KUT)

Hasil gambar untuk Kredit Usaha Tani (KUT)

Salah satu bentuk perkreditan mikro yang dikhususkan bagi pembiayaan pertanian pangan, khususnya padi yakni Kredit Usaha Tani (KUT). KUT dibiayai dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia dan kemudian beberapa bank lainnya. Pelaksanaan penyaluran kredit kepada petani dilaksanakan oleh KUD dan sejak 1999 diperluas melalui koperasi-koperasi lain. Pengalaman KUT sebagai program pemerintah menarik untuk dikaji sebagai salah satu pengalaman tersendiri dalam khazanah pengembangan kredit mikro.  
Program Kredit Usaha Tani (KUT) yang dimulai sejak musim tanam tahun 1985, dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung peningkatan produksi beras dalam negeri melalui penyediaan permodalan bagi petani dalam melakukan usaha tani padi. Program KUT ini pada dasarnya merupakan pengganti kredit BIMAS yang dinilai gagal dan menjadi terlalu mahal kalau diselenggarakan oleh Bank sendiri. Disamping itu juga dikembangkan dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada KUD dalam pelayanan kepada petani yang potensial menjadi anggota. Untuk itu sejak Musim Tanam (MT) 1985 sampai dengan MT 1996 telah disediakan dana untuk setiap tahunnya sekitar Rp 200 miliar. Besarnya dana yang disediakan pada setiap tahun tersebut hanya dapat membiayai sekitar 3% dari luas areal tanaman padi pada waktu. Adapun tunggakan yang terjadi sebelum tahun 1995, yaitu sebesar Rp. 117 miliar telah dihapusbukukan dan dihapustagihkan. Penghapus bukuan ini juga diakibatkan oleh kemacetan yang terjadi setiap tahun sejak 1985-1995, meskipun persentasenya kecil.  

 
Pada tahun 1998 dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri maka kebijakan yang diambil adalah melakukan program intensifikasi khusus. Kebijakan ini diambil dalam rangka memenuhi ketersediaan pangan yang ketika itu mengalami kekurangan akibat kekeringan atau kesulitan memperoleh pasokan import karena krisis nilai tukar. Untuk mendukung realisasi perluasan areal intensifikasi sehingga 25 % dibutuhkan ketersediaan dana sebesar Rp. 3,13 triliun. Kebutuhan dana tersebut masih perlu ditambah dengan rencana perluasan areal intensifikasi khusus untuk komoditi palawija dan hortikultura, sehingga total kebutuhan dana KUT yang perlu disediakan pada tahun penyediaan (TP) 1998/1999 mencapai sebesar Rp. 4,37 triliun.  
Hasil gambar untuk Kredit Usaha Tani (KUT)
Berdasarkan rapat kordinasi peningkatan produksi pangan tanggal 16 Oktober 1998 telah disepakati untuk peningkatan sasaran areal KUT TP 1998/1999 di Pulau Jawa dari 25 % menjadi 50 % sehingga total kebutuhan penyediaan dana KUT menjadi Rp. 6,53 triliun.  
Realisasi KUT sejak TP 1995/1996 sampai dengan TP 1999/2000 secara kumulatif sebesar Rp. 10,53 triliun, dimana terjadi tunggakan sebesar Rp. 7,22 triliun atau sebesar 68, 58 % (posisi tanggal 3 oktober 2001) yang terdiri dari  :
Tahun Penyediaan
(TP)
Realisasi
(Rp. Juta)
Tunggakan
(Rp Juta)
( %)
1995/1996
198.829
36.750
18,47
1996/1997
211.921
54.265
25,61
1997/1998
367.196
71.718
19,53
1998/1999
8.405.296
5.970.879
71,04
1999/2000
1.348.405
1.087.312
80,64
Total
10.531.747
7.220.924
68,56
Sumber kantor Meneg Koperasi dan UKM
Pada akhir tahun 1999 terjadi perubahan besar yaitu mulai berlakunya UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia tidak lagi diizinkan memberikan kredit likuiditas kepada Bank Komersial yang berakibat tidak dapat dilanjutkannya pola kredit KUT. Semula penyediaan kredit  usaha tani akan diupayakan melalui surat utang pemerintah (SUP) dan khusus untuk kebutuhan tahun 2000 dialokasikan plafond sebesar 1,9 triliun rupiah yang berasal dari konsorsium bank-bank dengan jaminan pemerintah. Namun demikian kesepakatan Letter of Intent tanggal 15 Januari 2000 menyepakati  bahwa pemerintah tidak akan menambah alokasi dana baru untuk KUT, sehingga praktis pola KUT dihentikan pada akhir September 2000, atau akhir tahun penyediaan 1999/2000 (dari Oktober 1999-september 2000).  
Peningkatan penyediaan dana KUT sub-sektor pertanian tanaman pangan yang sejak 1998 pada saat Indonesia mengalami krisis secara komulatif mencapai RP. 9,753 triliun adalah di luar kebiasaan kapasitas serap sektor pertanian. Oleh karena itu membludaknya penyediaan kredit murah dan mudah ke pedesaan / pertanian telah menimbulkan moral hazard, sehingga kasus penyalahgunaan KUT terjadi secara meluas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi pada saat itu dimana kredit komersial perbankan tidak tersedia, sehingga KUT menjadi satu-satunya sumber pembiayaan. Selanjutnya ketidakpastian akan kelanjutan KUT dan kegagalan panen di beberapa  daerah telah menimbulkan tunggakan yang membengkak.  
Sehubungan dengan adanya tunggakan KUT tersebut, maka pemerintah telah mengambil kebijakan untuk melakukan restrukturisasi KUT. Kebijakan tersebut dituangkan melalui Keputusan Menteri Koordinator  Bidang Perekonomian Nomor : KEP 07.A/M.EKON/02/2001 tanggal 15 Pebruari 2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan Reformasi Koperasi. Kebijakan restrukturisasi KUT tersebut pada intinya memuat :
1.                          Penghapusan atas bunga tunggakan kredit 100%
2.                          Penghapusan atas pokok tunggakan kredit berdasarkan kriteria :
-                     Petani gagal panen sebesar 50 %;
-                     Petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 % sebesar 50 %;
-                     Petani dengan luas lahan antara 0,5-1 ha sebesar 35 %;
-                     Petani lainnya dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 %.
3.                          Masa pembayaran diberikan secara bertahap pada setiap masa panen, paling lama 1 tahun
4.                          Cicilan pokok selama masa pembayaran tidak dikenakan bunga
5.                          Kebijakan restrukturisasi kredit petani hanya dilakukan 1 kali untuk kredit yang tertunggak per 31 Desember 2000 sesuai data bank pelaksana
6.                          Berlaku untuk tunggakan KUT yang bersih dari indikasi adanya irregularities
Kebijakan restrukturisasi KUT tersebut hingga saat ini belum dapat terlaksana karena belum tercapainya kesepakatan para penanggung resiko yaitu Bank Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu muncul usulan kebijakan baru yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah KUT. Masalah ini memang harus diselesaikan dan nampaknya penyelesaiannya tidak terlepas dari keharusan kita untuk memahami kedudukan dan sebab pembengkaan KUT.

V.        Arah dan Strategi Pengembangan LKM

            Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui :
1.                   Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
2.                  Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
1.                   Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Laur Negeri, dll);
2.                    Optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
3.                   Peningkatan Capacity Building LKM;
4.                  Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
5.                   Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
6.                    BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.

Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring :
-          Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
-         Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.

Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada tiga langka yang harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera  diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjaman dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan efektif; Ketiga, perlu dikembangkan sistem asuransi tabungan anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga keuangan pendukung lainnya. Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.  
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman dalam hal ini bank akan memperkuat kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.  
Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan permodalan : P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan Subsidi BBM, MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus diupayakan, pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan, penilaian kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan, pengembangan pola dan lembaga penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK di masa lalu (track record)

Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan
1.                   Mengatasi legal status agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
2.                  Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
3.                  Pengembangan jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.

Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas akan membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), serta model Baitul Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi Pondok Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu’awanah dan Lembaga Pengelolah Zakat yang mengembangkan program ekonomi produktif bagi penerima zakat ini akan berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri.

No comments:

Post a Comment