Kredit Usaha Tani (KUT)
Salah satu bentuk perkreditan mikro yang dikhususkan
bagi pembiayaan pertanian pangan, khususnya padi yakni Kredit Usaha Tani (KUT).
KUT dibiayai dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan disalurkan melalui Bank
Rakyat Indonesia dan kemudian beberapa bank lainnya. Pelaksanaan penyaluran
kredit kepada petani dilaksanakan oleh KUD dan sejak 1999 diperluas melalui
koperasi-koperasi lain. Pengalaman KUT sebagai program pemerintah menarik untuk
dikaji sebagai salah satu pengalaman tersendiri dalam khazanah pengembangan
kredit mikro.
Program Kredit Usaha Tani (KUT) yang dimulai sejak
musim tanam tahun 1985, dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung peningkatan
produksi beras dalam negeri melalui penyediaan permodalan bagi petani dalam
melakukan usaha tani padi. Program KUT ini pada dasarnya merupakan pengganti
kredit BIMAS yang dinilai gagal dan menjadi terlalu mahal kalau diselenggarakan
oleh Bank sendiri. Disamping itu juga dikembangkan dengan maksud untuk memberi
kesempatan kepada KUD dalam pelayanan kepada petani yang potensial menjadi
anggota. Untuk itu sejak Musim Tanam (MT) 1985 sampai dengan MT 1996 telah
disediakan dana untuk setiap tahunnya sekitar Rp 200 miliar. Besarnya dana yang
disediakan pada setiap tahun tersebut hanya dapat membiayai sekitar 3% dari
luas areal tanaman padi pada waktu. Adapun tunggakan yang terjadi sebelum tahun
1995, yaitu sebesar Rp. 117 miliar telah dihapusbukukan dan dihapustagihkan.
Penghapus bukuan ini juga diakibatkan oleh kemacetan yang terjadi setiap tahun
sejak 1985-1995, meskipun persentasenya kecil.
Pada tahun 1998 dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri maka kebijakan yang diambil adalah melakukan program intensifikasi
khusus. Kebijakan ini diambil dalam rangka memenuhi ketersediaan pangan yang
ketika itu mengalami kekurangan akibat kekeringan atau kesulitan memperoleh
pasokan import karena krisis nilai tukar. Untuk mendukung realisasi perluasan
areal intensifikasi sehingga 25 % dibutuhkan ketersediaan dana sebesar Rp. 3,13
triliun. Kebutuhan dana tersebut masih perlu ditambah dengan rencana perluasan
areal intensifikasi khusus untuk komoditi palawija dan hortikultura, sehingga
total kebutuhan dana KUT yang perlu disediakan pada tahun penyediaan (TP)
1998/1999 mencapai sebesar Rp. 4,37 triliun.
Berdasarkan rapat kordinasi peningkatan produksi
pangan tanggal 16 Oktober 1998 telah disepakati untuk peningkatan sasaran areal
KUT TP 1998/1999 di Pulau Jawa dari 25 % menjadi 50 % sehingga total kebutuhan
penyediaan dana KUT menjadi Rp. 6,53 triliun.
Realisasi KUT sejak TP 1995/1996 sampai dengan TP
1999/2000 secara kumulatif sebesar Rp. 10,53 triliun, dimana terjadi tunggakan
sebesar Rp. 7,22 triliun atau sebesar 68, 58 % (posisi tanggal 3 oktober 2001)
yang terdiri dari :
Tahun Penyediaan
(TP)
|
Realisasi
(Rp. Juta)
|
Tunggakan
|
|
(Rp Juta)
|
( %)
|
||
1995/1996
|
198.829
|
36.750
|
18,47
|
1996/1997
|
211.921
|
54.265
|
25,61
|
1997/1998
|
367.196
|
71.718
|
19,53
|
1998/1999
|
8.405.296
|
5.970.879
|
71,04
|
1999/2000
|
1.348.405
|
1.087.312
|
80,64
|
Total
|
10.531.747
|
7.220.924
|
68,56
|
Sumber
kantor Meneg Koperasi dan UKM
Pada akhir tahun 1999 terjadi perubahan besar yaitu
mulai berlakunya UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia tidak
lagi diizinkan memberikan kredit likuiditas kepada Bank Komersial yang
berakibat tidak dapat dilanjutkannya pola kredit KUT. Semula penyediaan kredit usaha
tani akan diupayakan melalui surat utang pemerintah (SUP) dan khusus untuk
kebutuhan tahun 2000 dialokasikan plafond sebesar 1,9 triliun rupiah yang
berasal dari konsorsium bank-bank dengan jaminan pemerintah. Namun demikian
kesepakatan Letter of Intent tanggal 15 Januari 2000
menyepakati bahwa pemerintah tidak akan menambah alokasi dana baru
untuk KUT, sehingga praktis pola KUT dihentikan pada akhir September 2000, atau
akhir tahun penyediaan 1999/2000 (dari Oktober 1999-september 2000).
Peningkatan penyediaan dana KUT sub-sektor pertanian
tanaman pangan yang sejak 1998 pada saat Indonesia mengalami krisis secara
komulatif mencapai RP. 9,753 triliun adalah di luar kebiasaan kapasitas serap
sektor pertanian. Oleh karena itu membludaknya penyediaan kredit murah dan
mudah ke pedesaan / pertanian telah menimbulkan moral hazard, sehingga kasus
penyalahgunaan KUT terjadi secara meluas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi
pada saat itu dimana kredit komersial perbankan tidak tersedia, sehingga KUT menjadi
satu-satunya sumber pembiayaan. Selanjutnya ketidakpastian akan kelanjutan KUT
dan kegagalan panen di beberapa daerah telah menimbulkan tunggakan
yang membengkak.
Sehubungan dengan adanya tunggakan KUT tersebut, maka
pemerintah telah mengambil kebijakan untuk melakukan restrukturisasi KUT.
Kebijakan tersebut dituangkan melalui Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : KEP 07.A/M.EKON/02/2001
tanggal 15 Pebruari 2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan
Reformasi Koperasi. Kebijakan restrukturisasi KUT tersebut pada intinya memuat
:
1. Penghapusan
atas bunga tunggakan kredit 100%
2. Penghapusan
atas pokok tunggakan kredit berdasarkan kriteria :
- Petani gagal
panen sebesar 50 %;
- Petani
dengan luas lahan kurang dari 0,5 % sebesar 50 %;
- Petani
dengan luas lahan antara 0,5-1 ha sebesar 35 %;
- Petani
lainnya dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 %.
3. Masa
pembayaran diberikan secara bertahap pada setiap masa panen, paling lama 1
tahun
4. Cicilan
pokok selama masa pembayaran tidak dikenakan bunga
5. Kebijakan
restrukturisasi kredit petani hanya dilakukan 1 kali untuk kredit yang
tertunggak per 31 Desember 2000 sesuai data bank pelaksana
6. Berlaku
untuk tunggakan KUT yang bersih dari indikasi adanya irregularities
Kebijakan
restrukturisasi KUT tersebut hingga saat ini belum dapat terlaksana karena
belum tercapainya kesepakatan para penanggung resiko yaitu Bank Indonesia dan
pemerintah. Oleh karena itu muncul usulan kebijakan baru yang diharapkan dapat
menyelesaikan masalah KUT. Masalah ini memang harus diselesaikan dan nampaknya
penyelesaiannya tidak terlepas dari keharusan kita untuk memahami kedudukan dan
sebab pembengkaan KUT.
V. Arah
dan Strategi Pengembangan LKM
Permasalahan
yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan
ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal
meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga
kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat
eksternal meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang
lemah serta infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang
mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih belum mampu
menjangkau secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting
perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil.
Upaya yang
dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui :
1. Perkuatan
permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
2. Penggalangan
dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
1. Penggalangan
partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Laur Negeri, dll);
2. Optimalisasi
pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana
Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
3. Peningkatan
Capacity Building LKM;
4. Training
bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
5. Perlu adanya
lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
6. BDS yang
mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk
menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan
pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk
melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan
kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan
profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat
diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota, meningkatkan jumlah
produk keuangan yang didukung dengan pengembangan jejaring. Pengembangan
jejaring antara lain meliputi jejaring :
- Antar
KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur
interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
- Antara
KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana
pinjaman maupun equity.
Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada
tiga langka yang harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan
pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai
bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan
sangat dominan; Kedua, harus segera diorganisir kedalam
kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh,
sehingga peminjaman dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan
efektif; Ketiga, perlu dikembangkan sistem asuransi tabungan
anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga keuangan pendukung lainnya.
Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan efektif akan menjamin
bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara
efektif.
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang
mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah
membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman
dalam hal ini bank akan memperkuat kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi
pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.
Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan
permodalan : P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK
(Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan Subsidi BBM, MAP (Modal Awal dan
Padanan) akan terus diupayakan, pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan,
penilaian kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan, pengembangan pola dan
lembaga penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK
di masa lalu (track record)
Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan
1. Mengatasi
legal status agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat
ini sedang disiapkan RUU LKM;
2. Pengawasan
lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
3. Pengembangan
jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line untuk
peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.
Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau
lapisan usaha mikro yang luas akan membawa pasar keuangan lebih bersaing,
sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau
ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi
masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola
syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini
telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK), serta model Baitul Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi Pondok
Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu’awanah dan Lembaga Pengelolah Zakat yang
mengembangkan program ekonomi produktif bagi penerima zakat ini akan berkembang
dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk
LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri.
No comments:
Post a Comment